1
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA”. Penulisan makalah merupakan
salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi
Pendidikan di Universitas Islam Nusantara Bandung.
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini,
terlebih khususnya kepada :
1. Bapak
H.A.Barnas EK,Drs.M.M.Pd,
selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikologi Pendidikan
2. Rekan-rekan semua di
prodi Pendidikan Bahasa Inggris
3. Semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini.
Akhirnya
penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Bandung, 26
Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...……………………………………………………….……………………………………………………………3
2.2 Perkembangan Moral
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan
anak adalah bertambahnya kemampuan(skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari
pematangan. Di sini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel
tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem yang berkembang sedemikian rupa
per- kembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya.
Aspek–
aspek perkembangan individu meliputi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa,
moral dan agama. Perkembangan fisik meliputi pertumbuhan sebelum lahir dan
pertumbuhan setelah lahir. Intelektual (kecerdasan) atau daya pikir merupakan
kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situas baru atau lingkungan
pada umumnya. Sosial, setiap individu selalu berinteraksi dengan lingkungan dan
selalu memerlukan manusia lainnya. Emosi merupakan perasaan tertentu yang
menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Bahasa merupakan kemampuan
untuk berkomunikasi dengan yang lain. Moralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Agama
merupakan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Karakterisitik
perkembangan sosio-emosional peserta didik serta implikasinya dalam bidang
pendidikan. Sosio-emosional berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan
sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial.
Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok, tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula
perilaku belajar.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa saja yang meliputi aspek – aspek
perkembangan siswa?
2.
Apa itu Perkembangan sosial dan emosi
siswa?
3.
Apa yang dimaksud perkembangan moral?
1.3
Tujuan
1.
Memahami aspek – aspek perkembangan
siswa
2.
Memahami Perkembangan sosial dan emosi
siswa
3.
Memahami perkembangan moral siswa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN EMOSI
Pada
dasarnya perkembangan sosio-emosional itu merupakan kemampuan peserta didik
berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaiman peserta didik menyikapi hal-hal
yang terjadi di sekitarnya.Perkembangan sosial pada peserta didik ditandai
dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan anggota keluarga juga
dengan teman sebaya, sehingga ruang gerak hubungan sosioalnya bertambah.
Biasanya peserta didik mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri dari sikap
berpusat pada diri snediri (egosentris), kepada sikap bekerja sama (koperatif)
atau mau memerhatikan kepentingan orang lain (sosiosentris). Hal ini berkaitan
dengan sikap yang ada pada peserta didik itu sendiri.Apakah dengan sikap atau emosi yang
stabil seperti bersikap respect terhadap diri sendiri dan orang lain atau
bersikap tidak baik seperti tidak mau bergaul dengan orang lain.
Saat
ini banyak orang berpendidikan khususnya remaja yang tampak menjanjikan tetapi
akhirnya mengalami kemandekan dalam pencapaian karir atau tujuan hidupnya. Para
remaja ini sebagian besar tersingkir dari persaingan tersebut akibat rendahnya
kecerdasan emosi, kemempuan mendengarkan dan mempelajari kehidupan yang tidak
sepenuhnya tidak dikuasai serta cara adaptasi dan berkomunikasi secara lisan
yang seolah-olah dianggap oleh para remaja merupakan suatu hal yang dianggap
tidak penting.
Tingkat
kecerdasan intelektual seseorang khususnya remaja pada umumnya selalu dalam
keadaan tetap akan tetapi kecerdasan emosi dapat ditingkatkan dengan cara
meningkatkan adaptasi dan kepekaan terhadap lingkungan sebagai sumber energi,
informasi, koneksi untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaiman peserta
didik menyikapi hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Emosi juga merupakan suatu
bahan bakar yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran
serta pemahaman yang tinggi terhadap lingkungan. Emosi menurut kreativitas,
kolaborasi, inisiatif dan transformasi sedangkan penalran logis berfungsi untuk
mengantisipasi dorongan-dorongan yang keliru, untuk kemudian menyelaraskannya
dengan proses kehidupan dengna sentuhan manusiawi. Disamping itu,
sosio-emosional pada remaja menjadi salah satu kekuatan penggerak: bukti-bukti
menunjukkan bahwa nilai dan watak dasar seseorang dalam hidup ini tidak berakar
pada kecerdasan intelektual melainkan terletak pada sosio-emosional.
Peranan
remaja dalam lingkungan adalah sebagai makhluk yang harus memiliki kemampuan
dalam penyesuaian diri terhadap aspek-aspek, nilai-nilai dan interaksi sehingga
mampu menjadi makhluk sosial yang menjalankan semua kegiatan sosialnya dengan
penuh tanggung jawab.Remaja tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial,
sehingga lingkungan sosiallah yang mampu memberikan pengaruh terhadap
pembentukan berbagai aspek kehidupan remaja terutama pada pola pengembangan
sosio-emosional. Dengan demikian perkembangan sosial ini dapat diartikan
sebagai proses berkembangnya tingkat hubungan antara manusia untuk meningkatkan
kebutuhan hidup manusia.
Menurut
Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa karakteristik remaja yang mampu menimbulkan
berbagai permasalahan pada diri remaja :
1.
Kecanggungan dalam pergaulan dan
kekakuan dalam pergerakan
2.
Ketidakstabilan emosi`
3.
Adanya perasaan kosong akibat
perombakan pandangan dan petunjuk hidup
4.
Adanya sikap menentang dan menantang
terhadap orang-orang yang lebih tua
5.
Pertentangan di dalam dirinya sering
menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentangan dengan orang tua
6.
Kegelisahan karena banyaknya suatu hal
yang diinginkan oleh remaja tetapi tidak mampu untuk memenuhi semua keinginan
tersebut
7.
Senang bereksperimen, bereksplorasi,
serta mempunyai banyak hayalan, bualan, dan fantasi
8.
Kecenderungan membuat kelompok yang
melakukan perbuatan dengan melanggar norma-norma kehidupan.
Dalam
proses belajar, kita tidak menyangkal bahwa peran intelegensi berpengaruh
terhadap prestasi pembelajaran. Namun, yang muncul saat ini tingkat
keberhasilan seseorang dalam pendidikan sangat difokuskan untuk diukur
secara kuantitas intelegensi yaitu dengan pengukuran Intelligence
Quotient (IQ), peran IQ diasumsikan sebagai hal utama yang berpengaruh
terhadap keberhasilan. Akan tetapi, perlu disadari bahwa IQ hanyalah merupakan
pengukuran secara kuantitas mengenai tingkat intelegensi yang dapat diukur dan
bersifat konkret dan konvergen. Emosi yang positif dapat mempercepat proses
belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih baik, sebaliknya emosi yang
negatif dapat memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali.
Oleh
karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai dengan menciptakan
emosi positif pada diri pelajar (peserta didik). Untuk menciptakan emosi
positif pada dirisiswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah
dengan menciptakan lingkungan belajar atau lingkungan sosial yang menyenangkan
dan dengan penciptaan kegembiraan belajar. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan
seseorang dalam mengelola emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan
dengan orang lain.
Selain
keceerdasan emosi interaksi antara pelajar dengan lingkungan tempat
sekolah juga mempengaruhi proses belajar. Apabila terjadi hubungan atau
interaksi yang baik antar pelajar dengan lingkungan sosial, lingkungan
masyarakat, dan lingkungan keluarga serta emosi dari para pelajar mampu
disesuaikan dengan lingkungan sosial tersebut, tentu saja proses belajar dari
pelajar akan berjalan dengan lancar. Maka dari hal tersebut dapat kita
simpulkan bahwa dalam proses pendidikan, emosi lingkungan sosial sangat
berperan dan perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran karena emosi mempunyai
suatu kekuatan yang dapat memicu kita dalam mencapai suatu prestasi belajar dan
lingkungan social menjadi wadah dalam menjalankan proses belajar.
Maka
dengan ini sangatlah keliru jika dianggap faktor utama penentu keberhasilan
adalah IQ yang tinggi. Banyak orang yang berhasil dalam sisi akademik namun
tidak bisa melakukan apapun dengan keberhasilannya dalam kehidupan yang nyata.
Oleh karena itu, keterlibatan emosi dan keterlibatan pelajar dalam lingkungan
sosialnya sangat penting dalam segala aktivitas, apalagi jika kita dapat
mengelola emosi itu dengan tepat dalam lingkungan sosial atau dengan kata lain
cerdas dalam menggunakan emosi. Kecerdasan emosi dan mampu berinteraksi dalam
lingkungan sosial ini akan sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang
dalam segala aspek kehidupan.
2.2
PERKEMBANGAN MORAL
Menurut
Santrock (1995) Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan
aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan-perubahan
perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tatacara,
kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial.
Ada
beberapa teori yang membahas tentang perkembangan moral, diantaranya:
a.
Perkembangan moral menurut Teori
Belajar Sosial
Menurut
teori belajar sosial, perkembangan sosial merupakan proses yang dipelajari
selama proses interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Perkembangan sosial
berlangsung melalui proses peniruan, latihan dan penguatan.
Menurut
Bandura perkembangan moral berlangsung melalui interaksi seseorang dengan
lingkungan yang menyediakan konten moral. Moral seseorang akan berkembang
dengan baik, apabila berinteraksi dengan orang dewasa yang menunjukkan tingkah
laku moral dalam melakukan tindakan sehari-hari. Oleh karena itu, interaksi yang
bermoral dengan orangtua dan guru khususnya serta orang dewasa umumnya sangat
penting pengaruhnya untuk mengembangkan moral remaja.
b.
Perkembangan moral menurut Teori
Kognitif
Pelopor
teori Kognitif adalah Jean Piaget yang menekankan bahwa perkembangan kognitif
erat kaitannya dengan perkembangan moral remaja. Oleh karena itu, perkembangan
moral remaja tergantung pada perkembangan kognitifnya. Piaget berpendapat bahwa
terdapat hubungan yang sejajar antara perkembangan kognitif dengan perkembangan
moral remaja.
2.2.1 Tahapan Perkembangan Moral
Tahapan
perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh
Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di
University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil
kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral.
Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang
sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Adapun
tahapan-tahapan itu adalah:
a.
Tahapan Pramoralitas
(1) Periode
0
Pemahaman anak tentang baim dan buruk,
benar dan salah ditentukan oleh akibat fisik yang ditimbulkan oleh tindakan itu
seperti hukuman.
(2) Periode
1
Suatu tingkah laku bermoral bagi anak
kalai tingkah laku itu oatuh mengikuti kemauan orang berkuasa seperti orangtua
dan guru atau tingkah laku yang mendapatkan penghargaan fisik atau material,
sedangkan tingkah laku yang tidak bermoral kalau membantah dan mendapat hukuman
dari yang berkuasa terhadap anak.
(3) Periode
2
Anak memahami bahwa tingkah laku benar,
salah, baik, pantas tergantung kepada tingkah laku itu memuaskan, menimbulkan
kenikmatan pada diri sendiri atau orang lain (hedonisme).
b.
Moralitas dianggap kesamaan peranan
yang biasa
(1)
Periode 3
Anak memahami bahwa tingkah laku moral
adalah mengakui aturan-aturan yang telah ditentukan oleh orang dewasa. Anak
mulai mengerti bahwa tingkah laku salah namun tidak sengaja atau direncanakan
sebelumnya bukan merupakan tindakan yang melanggar hukum.
(2)
Periode 4
Ditandai oleh pemahaman anak bahwa
tingkah laku yang baik atau benar adalah mentaati aturan dan hukuman-hukuman
yang telah disepakati bersama dan menguasai kehidupan masyarakat.
c.
Moralitas dengan penerimaan
prinsip-prinsip moral
(1)
Periode 5
Anak mulai memahami nilai moral dan
prinsip-prinsip moral maupun standar kebenaran yang benar dan dapat terjadi
pertentangan dengan apa saja yang terjadi atau diterima oleh masyarakat. Pembentukan
filsafat hidup sangat tepat untuk membimbing tingkah laku yang bermoral.
(2)
Periode 6
Periode ini disebut Kohlberg dengan
level postconvensional yang merupakan tingkat perkembangan moral yang
tertinggi. Remaja telah menginternalisasi nilai-nilai moral menjadi miliknya
sendiri. Pertanggungjawaban secara moral tingkah lakunya terletak pada diri
remaja itu sendiri, mereka memahami peraturan dan tata cara yang berlaku di
masyarakat haruslah berdasarkan prinsip-prinsip universal.
2.2.2. Ciri-Ciri Perkembangan Moral Pada Anak Dan
Remaja
Michel
(dalam Elida Prayitno: 1992) mencatat ada tiga perubahan yang penting dalam
perkembangan moral selama masa remaja, yaitu:
1.
Remaja menyadari bahwa yang disebut
benar atau salah itu adalah atas pertimbangan keadilan atau kebijaksanaan,
bukan atas kemauan orang yang berkuasa.
2.
Remaja paham tentang peraturan moral
atau agama dan sosial karena telah diperolehnya kemampuyan memahami sesuatu
dari sudut pandangan tertentu, sehingga remaja mengerti bahwa moral relatif tidak
absolut.
3.
Remaja mengalami konflik tingkah laku
moral dengan pikiran moral. Tingkah laku moral adalah tingkah laku yang
ditampilkan sesuai dengan kriteria moral, sedangkan pikiran moral dan pandangan
moral adalah perndapat atau pertimbangan seseorang tentang persoalan moral.
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Moral
a.
Orangtua/guru sebagai model
Menurut
Freud (dalam Elida Prayitno: 1992), bail pria maupun wanita meniru tingkah laku
orangtua (yang sejenis) adalah karena keinginan untuk menjadi seperti orangtua.
b.
Disiplin yang diberikan orangtua
Menurut Hoffman dan Saltztein (dalam
Elida Prayitno: 1992), orangtua yang mempergunakan teknik disiplin induksi
(memberikan alasan mengapa seseorang boleh atau tidak boleh bertingkah laku
tertentu) cenderung menyebabkan perkembangan moral remaja sangat baik,
sedangkan penggunaan disiplin berkuasa dan otoriter cenderung menyebabkan
perkembangan moral yang rendah.
c.
Induksi dengan teman sebaya
Interaksi dengan teman sebaya dan
kemampuan bermain peran terjadi karena telah dikuasainyakemampuan “role
taking”, yaitu kemampuan memahami sesuatu atau peristiwa dari sudut pandangan
orang lain. Dengan meningkatnya interaksi dengan teman sebaya, maka kemampuan
“role taking” pun makin mahir dan sempurna dan ini merupakan jalan bagi
perkembangan moral.
2.2.4.
Usaha Guru Dan Orangtua Dalam Mengembangkan Moral Siswa
Wilcox
(dalam Elida Prayitno: 1992) mengemukakan pendekatan-pendekatan yang dapat
digunakan guru di sekolah untuk membantu pengembangan moral remaja, yaitu;
1.
Pendekatan klarifikasi nilai
Penggunaan
pendekatan ini dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa melalui proses
menganalisis secara mendalam dan hati-hati nilai-nilai yang dipilih dalam
klarifikasi. Siswa akan tumbuh menjadi probadi yang lebih positif, memiliki
tujuan, dan menerapkan nilai-nilai dalam menjalani kehidupannya. Dalam
pendekatan ini individu bebas menemukan nilai-nilai dan berpikir analisis yang
mengarah pada pemilihan nilai-nilai yang sesuai dengan kehidupan, dapat
menginternalisasikan nilai serta menunjukkan komitmen menjalankan nilai yang
dipilih dalam kehidupan.
2. Pendekatan dilema moral
Kohlberg
dan pengikutnya menemukan bahwa dilema berguna dalam pendidikan moral. Siswa
tidak hanya belajar dilema untuk belajar, tetapi juga belajar dilema nyata dari
kehidupan sehari-hari. Diskusi-diskusi dilema moral dapat mendorong siswa pada
perkembangan moral yang lebih tinggi.
a.
Dalam memberikan pendidikan moral,
Duska & Whelen ((dalam Elida Prayitno: 1992) menemukan pedoman praktis yang
dapat digunakan oleh guru, yaitu sebagai berikut:
b.
Menciptakan kelas sebagai lingkungan
yang membuat siswa dapat hidup dan belajar bersama dalam suasana
hormat-menghormati dan suasana aman.
c.
Beri siswa kesempatan untuk
mengemukakan pendapat dalam menentukan aturan-aturan kelas.
d.
Pilihlah hukuman yang ada hukumannya
dengan pelanggaran.
e.
Bedakan antara kritik terhadap
pekerjaan yang berhubungan dengan pelajaran dan kritik terhadap tindak tanduk,
antara aturan tata tertib sekolah dengan aturan-aturan tentang keadilan dan
hubungan antar manusia.
f.
Beri kesempatansiswa bekerja dalam
kelompok.
g.
Dalam bercerita dan berdiskusi tentang
pengalaman sehari-hari, bantulah anak-anak memikirkan perasaan orang lain, baik
yang benar-benar terjadi maupun yang fiktif.
h.
Buatlah permainan peran (role playing)
dari kehidupan sehari-hari ataua kejadian-kejadian yang membuat siswa dapat
melihatnya dari perspektif mereka.
i.
Adakan kesempatan untuk mendengarkan
jawaban tiap siswa tentang pertimbangan moral, diskusi dengan menggunakan bahan
bacaan, film, dan pengalaman sehari-hari.
j.
Janganlah memberi penilaian terhadap
perkembangan moral atas dasar tingkah laku setiap orang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa remaja, tingkat karakteristik
emosional akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala emosional
para remaja seperti perasaan sayang, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus
asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai calon pendidik dan
pendidik kita harus mengetahui setiap aspek yang berhubungan dengan
perubahan ntingkah laku dalam perkembangan remaja, serta memahami aspek atau
gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik dengan
remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses
dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit dilepaskan
pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang sangat mempengaruhi
perkembangan peserta didik pada usia remaja yaitu diantaranya: didikan orang
tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan perlakuan guru di sekolah. Pengaruh
sosial dan emosi yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu untuk
mengendalikan diri, memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta bisa lebih
matang merencanakan segala hal yang akan diputuskannya, sedangkan terhadap
orang lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik, saling menghargai dan
mampu memposisikan diri di lingkungan dengan baik.
Agar seorang peserta didik dapat
memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk sejak usia dini, karena
pada saat itu amat sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia
selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah terbentuk.
3.2 Saran
Dilihat dari makalah Diatas, maka telah
kita ketahui bersama bahwasanya anak dalam setiap perkembangannya membutuhkan
bimbingan, apabila anak dalam pertumbuhannya tidak dibimbing maka anak itu
tidak akan terkontrol baik fantasi maupun emosinya.
Sebagai seorang calon Guru kita semua patut
mengetahui cirri-ciri dan perkembangan anak sehingga kita dapat memantau setiap
jengkal pertumnuhan dab perkembangannya baik fantasinya maupun emosinya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani,
Hendriati. 2005. Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya Dengan
Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Refika Aditama. Bandung
Jahja,
Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Prenada Media Group. Jakarta
Mahmud.
2010. Psikologi Pendidikan. PT. Pustaka Media. Bandung
heBat, Hebat dan Lanjutkan Dit
BalasHapusBujang
BalasHapusAs claimed by Stanford Medical, It is really the SINGLE reason this country's women get to live 10 years longer and weigh 42 lbs less than us.
BalasHapus(Just so you know, it has NOTHING to do with genetics or some hard exercise and really, EVERYTHING to do with "how" they eat.)
P.S, I said "HOW", and not "what"...
TAP this link to uncover if this easy quiz can help you discover your true weight loss potential